Jumat, 11 September 2020

MEMAHAMI KLAUSUL ANAK SAH pada UU No. 01/1974 pasal 42 Jo Inpres 01/1991 Pasal 99 Dalam Perspektif Fiqh Munakahat

 MEMAHAMI KLAUSUL ANAK SAH pada UU No. 01/1974 pasal 42 Jo Inpres 01/1991 Pasal 99 Dalam Perspektif Fiqh Munakahat


Oleh: Moh.Lutfi Ridho

Kepala KUA Kecamatan Sumobito Kab.Jombang.



Bismillahirrohmanirrohim.

Maraknya seks bebas berdampak hebat pada fenomena hamil diluar sebelum nikah.

Wanita yang hamil sebelum nikah mengalami masa situasi ketidak pastian, ketidak pastian antara dinikahi oleh pria yang menghamilinya atau justru ditinggal minggat.

Fenomena  Kawin Hamil menurut Inpres 01/1991 tentang KHI Pasal 53 ayat 1, " WANITA HAMIL DAPAT DINIKAHKAN DENGAN PRIA YANG MENGHAMILINYA" berimplikasi pada Sahnya seorang anak akibat perzinahannya.

UU 01/1974 pasal 42 Jo Inpres 01/1991 menyatakan bahwa Anak yang sah adalah anak yang dilahirkan dalam atau akibat perkawinan yang sah"

Klausul inilah yang seringkali memunculkan perbedaan pemahaman.


Allah SWT Berfirman dalam Al Qur'an Surat Annur Ayat 3,


الزَّانِي لَا يَنْكِحُ إِلَّا زَانِيَةً أَوْ مُشْرِكَةً وَالزَّانِيَةُ لَا يَنْكِحُهَا إِلَّا زَانٍ أَوْ مُشْرِكٌ ۚ وَحُرِّمَ ذَٰلِكَ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ


Laki-laki yang berzina tidak mengawini melainkan perempuan yang berzina, atau perempuan yang musyrik; dan perempuan yang berzina tidak dikawini melainkan oleh laki-laki yang berzina atau laki-laki musyrik, dan yang demikian itu diharamkan atas oran-orang yang mukmin. (Annur ayat 3)


وَالْمُطَلَّقَاتُ يَتَرَبَّصْنَ بِأَنْفُسِهِنَّ ثَلاَثَةَ قُرُوءٍ وَلاَيَحِلُّ لَهُنَّ أَن يَكْتُمْنَ مَاخَلَقَ اللهُ فِي أَرْحَامِهِنَّ إِن كُنَّ يُؤْمِنَّ بِاللهِ وَالْيَوْمِ اْلأَخِرِ وَبُعُولَتُهُنَّ أَحَقُّ بِرَدِّهِنَّ فِي ذَلِكَ إِنْ أَرَادُوا إِصْلاَحًا وَلَهُنَّ مِثْلُ الَّذِي عَلَيْهِنَّ بِالْمَعْرُوفِ وَلِلرِّجَالِ عَلَيْهِنَّ دَرَجَةٌ وَاللهُ عَزِيزٌ حَكِيمٌ {228}


"Wanita-wanita yang ditalak hendaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru'. Tidak boleh mereka menyembunyikan apa yang diciptakan Allah dalam rahimnya, jika mereka beriman kepada Allah dan Hari Akhirat. Dan suami-suaminya berhak merujukinya dalam masa menanti itu, jika mereka (para suami) menghendaki ishlah. Dan para wanita mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang ma'ruf. Akan tetapi para suami, mempunyai satu tingkatan lebih daripada istrinya. Dan Allah Mahaperkasa lagi Mahabijaksana." (QS. Al-Baqarah: 228).


 Sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam.


لاَ يَحِلُّ ِلامْرِئٍ يُؤْمِنُ بِاللهِ وَالْيَوْمِ اْلآخِرِ أَنْ يَسْقِيْ مَاءَه ُزَرْعَ غَيْرِهِ


Tidak halal bagi orang yang beriman kepada Allah dan hari akhir dia menuangkan air (maninya) pada persemaian orang lain.


Keempat Imam Madzhab  (Hanafi, Maliki, Syafi’i dan Hambali)  telah sepakat bahwa Anak hasil zina tidak memiliki nasab kepada pihak laki-laki yang menghamilinya.


Dalam arti si anak itu tidak memiliki bapak. Meskipun si laki-laki yang menzinahinya, menaburkan benih itu mengaku yang dikandung itu anaknya. Tetap pengakuan ini tidak sah,. Karena anak tersebut hasil hubungan di luar nikah. Dalam hal ini sama saja, baik si wanita yang dizinai itu bersuami ataupun tidak bersuami.

Jadi anak itu tidak berbapak. Berdasarkan sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.


اَلْوَلَدُ لِلْفِرَاشِ وَلِلْعَاهِرِ الحْجَر


Anak itu bagi (pemilik) firasy, dan bagi laki-laki pezina adalah batu (kerugian dan penyesalan)


Firasy adalah tempat tidur. Maksudnya adalah si isteri yang pernah digauli suaminya atau budak wanita yang telah digauli tuannya. Keduanya dinamakan firasy. Karena si suami atau si tuan menggaulinya (tidur bersamanya). Sedangkan makna hadits di atas, anak itu dinasabkan kepada pemilik firasy. Namun karena si pezina itu bukan suami maka anaknya tidak dinasabkan kepadanya, dan dia hanya mendapatkan kekecewaan dan penyesalan.


Dikatakan di dalam kitab Al Mabsuth. Seorang laki-laki mengaku berzina dengan seorang wanita merdeka. Dia mengakui, bahwa anak ini merupakan hasil zina. Si wanita pun membenarkannya, maka nasab (si anak itu) tidak terkait dengannya.


 Berdasarkan sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.


اَلْوَلَدُ لِلْفِرَاشِ وَلِلْعَاهِرِ الحْجَر


Anak itu bagi pemilik firasy, dan bagi laki-laki pezina adalah batu (kerugian dan penyesalan)


Tidak ada firasy bagi si pezina itu. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah menegaskan kerugian dan penyesalan bagi si laki-laki pezina Maksudnya ialah tidak ada hak nasab bagi si laki-laki pezina, sedangkan penafian (peniadaan) nasab itu merupakan hak Allah Azza wa Jalla semata.


Ibnu Abdil Barr berkata, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,” Dan bagi laki-laki pezina adalah batu (kerugian dan penyesalan).” Maka beliau menafikan (meniadakan) adanya nasab anak zina di dalam Islam.


Kita sudah mengetahui bahwa anak yang dilahirkan wanita dari hasil hubungan perzinaan itu bukan dinisbatkan sebagai anak si laki-laki yang berzina dengannya. Sehingga klausul UU 01/1974 pasal 42 Jo Perpres No.01/1991  pasal 99 bermakana bahwa:

1. Kehamilan sebelum terjadinya pernikahan nisbatnya kepada Ibu. (Tidak bisa dinasabkan kepada Pria yg menghamilinya)

2. Anak itu tidak bisa saling mewarisi dengan laki-laki (yang dianggap ayahnya) itu.

3. Bila anak itu perempuan dan ketika dewasa ingin menikah, maka walinya adalah wali hakim. Karena tidak memiliki wali. Sedangkan laki-laki itu tidak berhak menjadi walinya. Karena dalam uraian diatas bukanlah bapaknya nasabnya.


Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam bersabda.


فَالسُّلْطَانُ وَلِيُّ مَنْ لاَ وَلِيَّ لَهَا


Maka sulthan (Pihak yang berwenang) adalah wali bagi orang yang tidak memiliki wali.


Implikasi selanjutnya adalah tentang administrasi pencatatan sipil, dimana banyak dijumpai seorang anak dinasabkan kepada orang tua yang bukan Bapak kandungnya atau seorang Anak yg terindikasi kehamilan ibunya sebelum terjadinya pernikahan dicatat sebagai anak kandung dengan nasab pria yang menghamilinya.

Jika didapati pada saat pemeriksaan nikah, maka sudah semestisnya Kepala KUA/Penghulu menolak melangsungkan pendaftaran calon pengantin seperti ini.

Selasa, 27 November 2012

Lima Hikmah Nikah

Peran dan Fungsi KUA



Peran dan Fungsi KUA

Keberadaan KUA (Kantor urusan Agama)  merupakan bagian dari institusi pemerintah daerah yang bertugas memberikan pelayanan kepada masyarakat. Sebagai ujung tombak pelaksanaan tugas umum pemerintahan, khususnya di bidang urusan agama Islam, KUA telah berusaha seoptimal mungkin dengan kemampuan dan fasilitas yang ada untuk memberikan pelayanan yang terbaik. Namun demikian upaya untuk mempublikasikan peran, fungsi dan tugas KUA harus selalu diupayakan. Realita dilapangan menunjukkan masih ada sebagian masyarakat yang belum memahami sepenuhnya tugas dan fungsi KUA. Akibatnya tidak heran, ada kesan bahwa tugas KUA hanya tukang baca do’a dan menikahkan saja. 
Sedekah template ini dari mbak- Poppies407